Kaidah Taqdim dan Takhir dalam Memahami Al-Quran

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang memiliki keindahan bahasa dan susunan yang tiada banding. Salah satu aspek retorika yang menarik perhatian para ulama adalah fenomena at-taqdim wa at-ta’khir (pendahuluan dan pengakhiran). Fenomena ini bukan hanya sekadar permainan susunan kata, tetapi memiliki implikasi mendalam terhadap makna, estetika, dan hikmah di balik setiap ayat Al-Qur’an. Keberadaan at-taqdim wa at-ta’khir telah menjadi bahan kajian penting dalam ilmu balaghah dan tafsir, karena dapat mengungkap makna tersembunyi yang tidak dapat dipahami secara tekstual.

Pemahaman tentang at-taqdim wa at-ta’khir menjadi sangat penting dalam konteks tafsir, karena Al-Qur’an menggunakan struktur ini untuk memberikan penekanan, menyampaikan peringatan, atau menunjukkan prioritas tertentu. Meski demikian, tidak sedikit umat Islam yang belum memahami kaidah ini secara mendalam, sehingga berpotensi mengaburkan pemaknaan ayat. Oleh karena itu, kajian tentang kaidah at-taqdim wa at-ta’khir sangat relevan untuk memperkaya pemahaman terhadap Al-Qur’an secara komprehensif.

Pembahasan:

  1. Definisi At-taqdim dan At-ta’khir

Secara bahasa, at-taqdim artinya “mendahulukan,” yaitu meletakkan sesuatu di depannya yang sesuatu yang lain, sedangkan at-ta’khir berarti kebalikannya, yaitu “mengakhirkan” atau “meletakkan sesuatu di belakang.”[1]

Menurut istilah ulama’ ahli balaghah, at-taqdim wa at-ta’khir adalah pengubahan susunan kata dalam kalimat bahasa Arab dari urutan aslinya, karena ada kebutuhan tertentu atau untuk keindahan susunan kalimat. Ini adalah salah satu fenomena gaya bahasa yang berfungsi untuk mencapai berbagai tujuan dalam susunan kalimat Al-Qur’an. Pengetahuan tekait hal ini menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap retorika dan keindahan bahasa Arab. Hal ini tidak hanya memperkaya makna, tetapi juga menciptakan daya tarik estetika yang mendalam. Sebagaimana dikatakan oleh Az-Zarkasyi:

At-taqdim wa at-ta’khir adalah salah satu seni balaghah. Para ahli bahasa menggunakannya untuk menunjukkan penguasaan mereka dalam kefasihan dan kemampuan mereka yang melekat atas struktur bahasa, sehingga memiliki daya tarik di hati dan memberikan rasa yang enak.”[2]

At-taqdim dan at-ta’khir dalam Al-Qur’an adalah salah satu topik yang mendapatkan perhatian besar dari para ulama, dapat menunjukkan pemahaman mendalam tentang rahasia keindahan bahasa dalam kalimat-kalimat Al-Qur’an. Hal ini karena Al-Qur’an telah mencapai puncak keunggulan dalam aspek ini. Tidak ada kata yang didahulukan atau diakhirkan secara sia-sia, melainkan setiap kata ditempatkan pada posisi yang sesuai, dengan urutan yang disusun berdasarkan konteks maknawi yang ingin disampaikan.

Oleh karena itu, para ulama memandang keindahan at-taqdim dan at-ta’khir dalam Al-Qur’an merupakan suatu yang luar biasa. Al-Jurjani menyampaikan: “Ini adalah disiplin ilmu yang banyak manfaatnya, penuh dengan keindahan, kaya akan variasi, dan luas cakupannya. Orang yang menguasainya akan senantiasa menyampaikan dengan kata-kata yang memukau dan makna yang halus. Akan selalu menemukan ungkapan yang enak didengar dan lembut dirasakan, lalu ketika mencari alasan mengapa ungkapan itu memukau dan terasa indah, pendengar akan mendapati bahwa itu karena adanya at-taqdim pada suatu bagian atau perubahan posisi kata dari tempat semula ke tempat lain.”[3]

Para ulama salaf telah membahas gaya at-taqdim dan at-ta’khir dalam Al-Qur’an serta mengungkapkan hakikatnya. Terdapat riwayat-riwayat dari mereka yang menegaskan keberadaan gaya ini dalam Al-Qur’an dan perhatian mereka terhadapnya. Di antaranya adalah riwayat dari Ibnu Abbas dalam tafsir firman Allah:

فَقَالُوا أَرِنَا الله جَهْرَةً  [النساء: ١٥٣]

Mereka berkata: Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata (QS. An-Nisa: 153)

Ibnu Abbas menyatakan: “Jika mereka telah melihat-Nya, maka mereka memang telah melihat-Nya. Namun, mereka berkata secara nyata: Perlihatkanlah Allah kepada kami. Ini adalah susunan yang didahulukan dan diakhirkan.” Beliau menafsirkan bahwa permintaan mereka kepada Musa dilakukan secara terang-terangan.[4]

Demikian pula, diriwayatkan dari Qatadah dalam mentafsiri firman Allah:

إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ  [آل عمران: ٥٥]

Sungguh, Aku akan mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku (QS. Ali Imran: 55).

Beliau menyatakan: “Ini adalah bentuk at-taqdim dan at-ta’khir, maksudnya adalah: “Aku akan mengangkatmu kepada-Ku dan mewafatkanmu.”[5] Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa para ulama salaf mendalami fenomena at-taqdim dan at-ta’khir dalam Al-Qur’an, serta memberikan perhatian yang besar terhadap keindahan dan keunikannya.

Mayoritas para mufasir menegaskan bahwa gaya at-taqdim dan at-ta’khir merupakan salah satu fenomena yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ungkapan mereka tentang seni ini beragam dalam kitab tafsir.

Macam-Macam At-taqdim dan At-ta’khir dalam Al-Qur’an

At-taqdim dan at-ta’khir dalam Al-Qur’an terbagi menjaadi empat macam.[6]

  1. Hukum Asalnya Didahulukan dan Tidak Ada Tuntutan Mengakhirkan

Susunan jenis ini tidak mungkin untuk diubah dari susunan aslinya, seperti mendahulukan subjek (fa’il) dari objek (maf’ul bih), mendahulukan mubtada’ dari khabar, atau Mendahulukan shahibul hal dari keadaan. Contohnya adalah firman Allah:

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ [الانفطار : ٥]

“Setiap jiwa mengetahui apa yang telah dikerjakannya dan yang ditinggalkannya.” (QS. Al-Infithar: 5)

dan firman Allah:

وَدَخَلَ جَنَّتَهُ، وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ [الكهف: ٣٥].

“Dan dia memasuki kebunnya, sedang dia menzalimi dirinya sendiri.” (QS. Al-Kahfi: 35)

  • Mengakhirkan dapat Merusak Makna

Jenis ini harus didahulukan untuk menjaga kejelasan ungkapan dan kebenaran makna. Contohnya adalah firman Allah:

وَقَالَ رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِنْ عَالِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ  [غافر: ۲۸]

“Dan seorang laki-laki mukmin dari keluarga Fir’aun yang menyembunyikan keimanannya berkata…” (QS. Ghafir: 28).

Jika frasa مِنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ diakhirkan dan diletakkan setelah يَكْتُمُ إِيمَانَهُ, maka akan timbul anggapan bahwa frasa tersebut merupakan sifat dari tindakan menyembunyikan. Dengan demikian, maknanya menjadi: “Laki-laki itu menyembunyikan keimanannya dari keluarga Fir’aun,” sehingga tidak dipahami bahwa laki-laki tersebut berasal dari keluarga Fir’aun, yang merupakan maksud sebenarnya.[7]

Contoh lain:

وَقَالَ الْمَلَأُ مِن قَوْمِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِلِقَاءِ الْآخِرَةِ وَأَتْرَفْنَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا  [المؤمنون: ۳۳]

“Dan para pemuka dari kaumnya yang kafir dan mendustakan pertemuan dengan akhirat, serta yang telah Kami beri kemewahan dalam kehidupan dunia, berkata…” (QS. Al-Mu’minun: 33).

Dalam ayat ini, frasa مِن قَوْمِهِ didahulukan sebelum sifat الَّذِينَ كَفَرُوا. Mendahulukan ini diharuskan karena jika diakhirkan, frasa tersebut dapat dianggap sebagai sifat dari dunia. Hal ini akan mengubah pemahaman ayat, seolah-olah dunia di sini adalah bentuk superlatif dari duniawi (artinya yang lebih rendah), bukan sebagai nama yang menunjukkan kehidupan dunia seperti yang dimaksudkan dalam ayat.

  • Mendahulukan dalam Satu Ayat dan Mengakhirkan dalam Ayat Lain[8]

Jenis ini terjadi karena alasan yang sesuai dengan konteks atau berdasarkan makna yang dimaksudkan. Misalnya, Mendahulukan azab atas rahmat dalam firman Allah:

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ الله لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ [المائدة: ٤٠]

“Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah memiliki kerajaan langit dan bumi? Dia mengazab siapa yang Dia kehendaki, dan mengampuni siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Ma’idah: 40)

Dalam ayat ini, azab didahulukan karena konteksnya berbicara tentang hukuman memotong tangan pencuri, sehingga lebih sesuai untuk mendahulukan azab.

Sebaliknya, dalam firman Allah:

غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ [غافر: ٣]

“Yang Maha Mengampuni dosa dan Maha Menerima tobat, Yang keras hukuman-Nya, yang memiliki karunia.” (QS. Ghafir: 3)

Rahmat didahulukan atas azab karena pembahasan ayat ini berkaitan dengan sifat dasar Allah yang telah dinyatakan-Nya “Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului azab-Ku.” At-taqdim atau at-ta’khir tersebut selalu memiliki hikmah sesuai dengan konteks dan tujuan makna ayat.

  • Mendahulukan Ayat dari Ayat Lain

Jenis ini sering ditemukan dalam kisah-kisah Al-Qur’an dan berita tentang umat terdahulu. Contohnya adalah kisah Nabi Musa dalam Surah Al-Baqarah. Allah berfirman:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ الله يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةٌ [البقرة: ٦٧]

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyembelih seekor sapi betina. (QS. Al-Baqarah: 67).

Ayat ini didahulukan dari ayat berikut:

وَإِذْ قَتَلْتُمْ نَفْسًا فَأَدَّارَأتُمْ فِيهَا وَاللَّهُ مُخْرِجٌ مَّا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ [البقرة: ٧٢]

Dan (ingatlah) ketika kamu membunuh seseorang, lalu kamu saling tuduh-menuduh tentang itu, dan Allah menyingkap apa yang kamu sembunyikan. (QS. Al-Baqarah: 72).

Dalam kenyataannya, peristiwa pembunuhan tersebut terjadi sebelum Allah memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi betina. Namun, susunan ayat ini dimaksudkan untuk memberikan fokus tertentu dalam penyampaian cerita, sehingga at-taqdim atau at-ta’khir tidak mengikuti urutan kronologis kejadian, melainkan mengikuti tujuan penyampaian pesan dalam konteks kisah tersebut.[9]

Sebab-sebab At-taqdim dan At-ta’khir dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an memiliki makna primer yang diambil dari kata-kata dan kalimatnya, serta makna sekunder yang diambil dari susunan dan keindahan bahasanya. Mendahulukan kata dalam satu ayat dan mengakhirkan dalam ayat lain memberikan makna tambahan yang berbeda dari makna yang diberikan oleh kata-kata itu sendiri. Tidak ada kata dalam Al-Qur’an yang didahulukan atau diakhirkan kecuali untuk tujuan tertentu yang diketahui oleh para ahli tafsir. Para ulama telah menyebutkan sejumlah alasan dan tujuan dari at-taqdim dan at-ta’khir dalam Al-Qur’an, yang dapat diringkas sebagai berikut:[10]

  1. Mendahulukan untuk Menjaga Rima atau Menyelaraskan Akhir Ayat.

Contoh:

فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُوسَى [طه: ٦٧]

Maka Musa merasa takut dalam hatinya. (QS. Thaha: 67)

Jika frasa فِي نَفْسِهِ diakhirkan hingga setelah مُوسَى, maka keselarasan rima akan hilang. Hal ini karena sebelumnya terdapat ayat:

يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى [طه: ٦٦]

“Seakan-akan (tali-tali) itu adalah ular yang merayap cepat karena sihir mereka.” (QS. Thaha: 66),

dan setelahnya terdapat ayat:

إِنَّكَ أَنتَ الْأَعْلَى [طه: ٦٨]

“Sesungguhnya engkau lah yang paling tinggi (derajatnya).” (QS. Thaha: 68)

Mendahulukan pada frasa فِي نَفْسِهِ untuk memastikan keselarasan antara akhir ayat-ayat tersebut sehingga memperkuat keindahan susunan Al-Qur’an.[11]

  • At-ta’khir untuk Menyesuaikan dengan Apa yang Datang Setelahnya

Contohnya adalah firman Allah:

وَتَغْشَى وُجُوهَهُمُ النَّارُ  [إبراهيم: ٥٠]

“Dan api neraka menyelimuti wajah-wajah mereka.” (QS. Ibrahim: 50).

Dalam ayat ini, subjek (fa’il) diakhirkan setelah objek (maf’ul bih) untuk menyesuaikan dengan ayat yang datang setelahnya, yaitu:لِيَجْزِيَ اللَّهُ, agar Allah memberi balasan.

Api neraka adalah balasan atas kekufuran mereka, sehingga mengakhirkan kata api neraka menyesuaikan dengan tema balasan yang ditegaskan di awal ayat berikutnya, yaitu “Agar Allah memberi balasan.” pengakhiran ini memperkuat hubungan makna antara ayat-ayat tersebut dan menambah keserasian dalam susunannya.[12]

  • Mendahulukan untuk Mengutamakan Kebesaran dan Perhatian

Dalam tradisi orang Arab yang fasih, ketika mereka menyampaikan suatu berita dan menghubungkannya dengan suatu hukum atau sifat yang juga diterapkan pada pihak lain, mereka biasanya memulai dengan yang lebih penting dan lebih utama. Hal ini berlaku meskipun kedua hal tersebut sama-sama layak mendapatkan perhatian.

Contoh:

وَأَطِيعُوا الله وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ [التغابن: ۱۲]

“Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya.” (QS. At-Taghabun: 12).

Dalam ayat ini, ketaatan kepada Allah didahulukan atas ketaatan kepada Rasul karena keagungan dan kedudukan Allah yang lebih utama.[13]

  • Mendahulukan untuk Menarik Perhatian dan Fokus

Contoh:

وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ  [الأنعام: ١٠٠]

“Dan mereka menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu.” (QS. Al-An’am: 100).

Dalam ayat ini, kata لله didahulukan dari objek pertama, karena penolakan utama ditujukan pada tindakan menjadikan sekutu bagi Allah, bukan pada tindakan menjadikan sekutu secara umum. Pendahuluan ini menekankan fokus kecaman terhadap penyekutuan Allah.[14]

  • At-taqdim untuk Peneguran dan Keheranan

Contoh:

وَجَاءَ مِنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى [يس: ٢٠]

“Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki dengan bergegas.” (QS. Yasin: 20).

Dalam ayat ini, frasa مِنْ أَقْصَا الْمَدِينَةِ didahulukan dari رَجُلٌ. Pendahuluan ini berfungsi sebagai teguran bagi penduduk kota yang dekat dengan sumber dakwah, tetapi tetap ingkar, sementara seorang laki-laki dari pinggiran kota yang jauh justru menerima dan menyambut seruan iman. Pendahuluan ini juga menimbulkan rasa heran terhadap ketidaktanggapan penduduk kota yang lebih dekat dengan Rosul.[15]

  • At-taqdim untuk Menunjukkan Kekhususan

ini dapat terealisasi dengan mendahulukan objek, predikat, keterangan tempat, atau jar dan majrur dari kata kerja. Contohnya adalah firman Allah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ [الفاتحة: 5]

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5).

Dalam ayat ini, frasa إِيَّاكَ didahulukan untuk menekankan kekhususan ibadah dan permohonan hanya kepada Allah, tanpa menyekutukan-Nya atau meminta kepada selain-Nya.[16]

  • Berdasarkan Urutan Waktu dan Keberadaan

Contohnya adalah firman Allah:

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ [آل عمران: ٦٨]

“Sesungguhnya orang yang paling dekat hubungannya dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini.” (QS. Ali Imran: 68).

Dalam ayat ini, para pengikut Nabi Ibrahim disebutkan lebih dahulu daripada Nabi Muhammad, meskipun Nabi Muhammad lebih mulia. Hal ini disebabkan karena para pengikut Nabi Ibrahim hadir lebih dahulu secara kronologis dalam sejarah, sehingga pendahuluan disesuaikan dengan urutan waktu keberadaan.[17]

  • At-taqdim karena Pengutamaan Penyucian

Pendahuluan ini digunakan untuk menekankan penghormatan atau pengutamaan suatu aspek yang disucikan. Contohnya adalah firman Allah:

ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ، وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ [البقرة : ٢٨٥

“Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 285).

Dalam ayat ini, iman kepada Allah disebutkan lebih dahulu sebelum iman kepada malaikat, kitab, dan rasul. Hal ini menunjukkan keutamaan keimanan kepada Allah sebagai dasar utama keimanan lainnya.[18]

  • At-taqdim karena Sifat Dzat

Pendahuluan ini digunakan untuk mengutamakan suatu urutan berdasarkan sifat atau dzat sesuatu. Contohnya adalah firman Allah:

مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعٌ [النساء: 3]

“Dua, tiga, dan empat (istri).” (QS. An-Nisa: 3),

dan firman-Nya:

مَا يَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ﴾ [المجادلة: ٧).

“Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia lah yang keempatnya; dan tidak (pembicaraan rahasia) antara lima orang, melainkan Dia lah yang keenamnya.” (QS. Al-Mujadilah: 7).

Dalam ayat-ayat ini, angka yang lebih kecil didahulukan atas angka yang lebih besar, karena urutan tersebut sesuai dengan sifat bilangan yang mendasar dan bertahap. Pendahuluan ini menjaga keindahan dan keselarasan logis dalam susunan kalimat.[19]

  1. Berdasarkan Sebab dan Akibat

Pendahuluan ini digunakan untuk menunjukkan hubungan sebab-akibat. Contohnya adalah pendahuluan al-‘Aziz atas al-Hakim, karena keperkasaan (‘izzah) mendahului kebijaksanaan (hikmah), dan pendahuluan al-‘Alim atas al-Hakim, karena kesempurnaan berasal dari ilmu. Seperti Ayat:

قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ [البقرة: ٣٢]

“Mereka berkata, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada ilmu bagi kami selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.’“ (QS. Al-Baqarah: 32).

Dalam ayat ini, al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui) didahulukan atas al-Hakim (Yang Maha Bijaksana), karena ilmu adalah dasar dari kebijaksanaan.[20]

  1. At-taqdim dan At-ta’khir Berdasarkan Urutan Tingkatan

Contohnya adalah firman Allah:

فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ الله سَمِيعٌ عَلِيمٌ [البقرة: (۱۸۱]

“Barang siapa menggantinya setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah atas orang-orang yang menggantikannya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181).

Dalam ayat ini, as-Sami’ (Yang Maha Mendengar) didahulukan atas al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui), karena pendengaran terkait dengan suara, dan konteks ayat ini menyiratkan ancaman dan peringatan yang berhubungan dengan pengucapan. Kebiasaan manusia, seseorang yang mendengar biasanya lebih dekat daripada yang hanya mengetahui, meskipun ilmu Allah mencakup segala sesuatu yang lahir maupun yang batin. Pendahuluan ini memperkuat efek peringatan dalam ayat tersebut.[21]

  1. At-taqdim Berdasarkan Faktor Pendorong

Contoh pendahuluan ini adalah perintah untuk menundukkan pandangan sebelum menjaga kemaluan dalam firman Allah:

قُل لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ [النور : ٣٠]

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya.” (QS. An-Nur: 30).

Pandangan didahulukan karena ia menjadi pendorong atau penyebab bagi tindakan pelanggaran terhadap kemaluan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah:

العينان تزني والفرج يصدق ذلك أو يكذبه

“Dua mata melakukan zina, dan kemaluan membenarkan atau mendustakannya.”

  1. At-taqdim untuk Pengagungan

Contohnya At-taqdim dalam firman Allah:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُوا الْعِلْمِ [آل عمران: ۱۸]

“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, begitu pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu.” (QS. Ali Imran: 18).

Dalam ayat ini, kesaksian Allah didahulukan atas kesaksian malaikat dan orang-orang berilmu untuk menunjukkan keagungan dan kedudukan-Nya yang tertinggi sebagai sumber kebenaran dan otoritas tertinggi dalam kesaksian tauhid.[22]

  1. At-taqdim untuk Menunjukkan Keutamaan

At-taqdim ini digunakan untuk menunjukkan keutamaan suatu aspek, yang terbagi menjadi beberapa jenis:

Keutamaan Rasul atas Nabi:

Contoh:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيَ إِلَّا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ [الحج: ٥٢]

“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau seorang rasul maupun seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun melemparkan godaan dalam keinginannya.” (QS. Al-Hajj: 52).

Dalam ayat ini, kata “rasul” didahulukan atas “nabi” karena rasul memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada nabi.

Keutamaan Orang yang Merdeka:

Contoh:

الْخُرُّ بِالْحَرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ [البقرة: ۱۷۸

“Yang merdeka (dibalas) dengan yang merdeka, dan yang hamba (dibalas) dengan yang hamba.” (QS. Al-Baqarah: 178).

Kata “yang merdeka” didahulukan atas “yang hamba” untuk menunjukkan keutamaan dan kedudukan tinggi seseorang yang merdeka.

Keutamaan Makhluk yang Berakal:

Contoh:

: يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّيْرُ صَفَاتِ [النور: ٤١]

“Bertasbih kepada-Nya siapa saja yang ada di langit dan di bumi, serta burung-burung dengan mengembangkan sayapnya.” (QS. An-Nur: 41).

Dalam ayat ini, kata yang merujuk pada makhluk yang berakal, didahulukan dari “burung-burung”, yang merupakan makhluk tidak berakal. Pendahuluan ini menekankan keutamaan makhluk berakal dalam bertasbih kepada Allah.[23]

  1. At-taqdim karena Dominasi dan Jumlah yang Lebih Banyak

Contoh:

فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ  [الفاطر: ۳۲]

“Di antara mereka ada yang menzalimi dirinya sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada pula yang berlomba-lomba dalam kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32).

Dalam ayat ini, “ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ” didahulukan karena kelompok ini jumlahnya lebih banyak dibandingkan “مُّقْتَصِدٌ” dan “سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ,” yang masing-masing lebih sedikit secara berturut-turut.[24]

  1. Keenambelas: At-taqdim Berdasarkan Konteks

Contoh:

وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ [النحل: ٦]

“Dan kamu memperoleh keindahan pada ternak itu ketika kamu menggiringnya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya untuk merumput.” (QS. An-Nahl: 6).

Dalam ayat ini, “menggiring kembali ke kandang” disebutkan lebih dahulu daripada “melepaskan untuk merumput” karena pada saat itu ternak dalam kondisi kenyang.[25]

  1. Ketujuhbelas: At-taqdim karena Kesesuaian dengan Derivasi Kata

Contoh:

لِمَن شَاءَ مِنكُمْ أَن يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ [المدثر : ٣٧]

“Bagi siapa saja di antara kamu yang hendak maju atau mundur.” (QS. Al-Muddatstsir: 37).

Dalam ayat ini, kata “يَتَقَدَّمَ” didahulukan dari “يَتَأَخَّرَ” karena kedua kata tersebut diambil dari akar kata yang menunjukkan urutan logis maju diikuti mundur, sehingga sesuai dengan derivasi dan makna bahasa.

  1. At-taqdim untuk Mencegah Kelalaian terhadap Hal yang Didahulukan

Contoh:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصى بِهَا أَوْ دَيْنٍ [النساء: ۱۱]

“Setelah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau (setelah dibayar) utangnya.” (QS. An-Nisa: 11).

Dalam ayat ini, pelaksanaan wasiat disebutkan lebih dahulu daripada pelunasan utang, meskipun secara syariat pelunasan utang memiliki prioritas lebih tinggi. At-taqdim ini dilakukan karena masyarakat cenderung meremehkan pelaksanaan wasiat dengan mengakhirkannya, berbeda dengan utang yang biasanya mendapat perhatian lebih serius.[26]

  1. At-taqdim untuk Menekankan Hal yang Penting bagi Pendengar

Contoh:

فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا [النساء: ٨٦].

“Maka balaslah dengan (salam) yang lebih baik darinya atau balaslah dengan yang serupa.” (QS. An-Nisa: 86).

Dalam ayat ini, balasan salam yang lebih baik disebutkan lebih dahulu karena hal ini lebih menarik perhatian dan lebih diutamakan dalam interaksi sosial, dibandingkan dengan sekadar membalas salam secara setara. Pendahuluan ini menekankan keutamaan berbuat lebih baik dalam merespons kebaikan.

  • At-taqdim untuk Menunjukkan bahwa yang Didahulukan Bersifat Mutlak, Bukan Terbatas

Contoh:

وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَاءَ الْجِنَّ [الأنعام : ١٠٠]

“Dan mereka menjadikan jin sebagai sekutu-sekutu bagi Allah.” (QS. Al-An’am: 100).

Dalam ayat ini, frasa “bagi Allah” diletakkan terlebih dahulu sebagai objek kedua dari kata kerja “menjadikan”, sementara “sekutu-sekutu” menjadi objek pertama. Pendahuluan ini menunjukkan bahwa kecaman diarahkan pada tindakan menjadikan sekutu secara mutlak bagi Allah, termasuk sekutu selain jin.

Jika susunan ayat diubah menjadi “Dan mereka menjadikan jin sebagai sekutu-sekutu bagi Allah”, maka “jin” akan menjadi objek pertama dan “sekutu-sekutu” menjadi objek kedua. Hal ini akan membatasi kecaman hanya pada tindakan menjadikan jin sebagai sekutu Allah, tidak mencakup sekutu lain. Oleh karena itu, At-taqdim ini memberikan penekanan bahwa tindakan penyekutuan Allah bersifat umum dan mutlak, tidak hanya terbatas pada jin.[27]

  • At-taqdim untuk Menunjukkan Bahwa Sebabnya Berurutan

Contoh:

يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ [التوبة: ٣٥]

“Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, lambung, dan punggung mereka dengannya. ‘Inilah harta benda yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu simpan itu.’“ (QS. At-Taubah: 35).

Dalam ayat ini, dahi disebutkan lebih dahulu, diikuti lambung, lalu punggung. Urutan ini mencerminkan perilaku orang yang menahan sedekah di dunia. Ketika diminta, pertama-tama mereka akan memalingkan wajah mereka (dahi), lalu menolehkan badan mereka (lambung), dan akhirnya membelakangi si peminta (punggung). Pendahuluan ini menegaskan bahwa hukuman yang disebutkan sesuai dengan urutan tindakan mereka saat enggan memberikan sedekah.[28]

  • At-taqdim untuk Menunjukkan Perpindahan

Pendahuluan ini digunakan untuk menggambarkan perpindahan makna, yang dapat terjadi dalam beberapa pola:

Dari yang lebih dekat ke yang lebih jauh, contoh:

يَتَأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاء [البقرة : ۲۱-۲۲]

“Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap.” (QS. Al-Baqarah: 21-22).

Dalam ayat ini, orang-orang yang diajak bicara (kamu) disebutkan lebih dahulu daripada “orang-orang sebelum kamu”, dan “bumi” disebutkan lebih dahulu daripada “langit”, karena bumi lebih dekat dan langsung dirasakan oleh manusia dibandingkan langit.

Dari yang lebih jauh ke yang lebih dekat, contoh:

إِنَّ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا يَيْتِ لِلْمُؤْمِنِينَ  وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُ مِن دَابَّةٍ … [الجاثية: ٣-٤]

“Sungguh, pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang beriman, dan pada penciptaan dirimu dan makhluk bergerak yang Dia sebarkan…” (QS. Al-Jatsiyah: 3-4).

Di sini, langit disebutkan lebih dahulu, kemudian bumi, karena dimulai dari sesuatu yang lebih luas dan agung, kemudian beralih kepada manusia yang lebih dekat secara eksistensial.

Dari yang lebih tinggi (mulia), contoh:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَتَبِكَةُ وَأُولُوا الْعِلْمِ [آل عمران: ۱۸]

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, begitu pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu. (QS. Ali Imran: 18)

Kesaksian Allah didahulukan karena keagungan-Nya, diikuti malaikat, dan kemudian orang-orang yang berilmu.

Dari yang lebih rendah, contoh:

وَلَا يُنفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَة [التوبة: ١٢١]

“Dan mereka tidak menginfakkan sesuatu, baik yang kecil maupun yang besar.” (QS. At-Taubah: 121).

Dalam ayat ini, “kecil” disebutkan lebih dahulu daripada “besar”, untuk menunjukkan bahwa amal sekecil apa pun tetap bernilai di sisi Allah.[29]

  • At-taqdim untuk Menunjukkan Peningkatan

Contoh:

أَلَهُمْ أَرْجُلٌ يَمْشُونَ بِهَا أَمْ لَهُمْ أَيْدٍ يَبْطِشُونَ بِهَا [الأعراف:١٩٥]

“Apakah mereka mempunyai kaki yang dengan itu mereka dapat berjalan, atau mereka mempunyai tangan yang dengan itu mereka dapat memegang?” (QS. Al-A’raf: 195).

Dalam ayat ini, dimulai dengan kaki, yang dianggap memiliki derajat lebih rendah dalam fungsi, kemudian beralih ke tangan, untuk menunjukkan peningkatan dari sesuatu yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi dalam konteks fungsi dan makna.

  • At-taqdim untuk Menyesuaikan dengan Bentuk Tunggal

Hal ini dilakukan karena bentuk tunggal lebih mendahului bentuk jamak dalam susunan logis. Contoh:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا [الكهف: ٤٦].

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 46).

Dalam ayat ini, “harta” disebutkan lebih dahulu daripada “anak-anak” karena harta berbentuk tunggal, sedangkan anak-anak berbentuk jamak.

  • Keduapuluh Lima: At-taqdim untuk Memberi Peringatan dan Menciptakan Ketakutan terhadap yang Didahulukan

Contoh:

الزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً [النور: 3]

“Laki-laki pezina tidak akan menikahi kecuali dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik.” (QS. An-Nur: 3).

Dalam ayat ini, perbuatan zina disebutkan lebih dahulu dan disejajarkan dengan kemusyrikan, untuk menegaskan keburukan perbuatan zina dan memberikan peringatan keras terhadapnya. At-taqdim ini menunjukkan keutamaan mencegah perilaku tersebut sebelum membahas dampaknya lebih lanjut.[30]

  • Keduapuluh Enam: At-taqdim untuk Menimbulkan Rasa Takut terhadap yang Didahulukan

Contoh:

وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنكُم مَّن يُرِيدُ الْآخِرَةَ  [آل عمران: ١٥٢]

“Dan di antara kamu ada orang yang menginginkan dunia, dan di antara kamu ada orang yang menginginkan akhirat.” (QS. Ali Imran: 152).

Dalam ayat ini, “menginginkan dunia” disebutkan lebih dahulu untuk menimbulkan rasa takut dan peringatan terhadap kecenderungan yang berlebihan pada dunia, yang dapat menjauhkan seseorang dari kebaikan akhirat.

  • Keduapuluh Tujuh: At-taqdim untuk Menimbulkan Keheranan terhadap yang Didahulukan

Contoh:

وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُودَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرِ [الأنبياء: ٧٩]

“Dan Kami tundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama Daud, dan (juga) burung-burung.” (QS. Al-Anbiya: 79).

Dalam ayat ini, “gunung-gunung” didahulukan atas “burung-burung” karena penundukan gunung untuk bertasbih merupakan sesuatu yang lebih mengherankan dan lebih menunjukkan kekuasaan Allah, mengingat gunung adalah benda mati, sementara burung adalah makhluk hidup yang dapat bersuara.[31]

  • Keduapuluh Delapan: At-taqdim karena yang Didahulukan Lebih Menunjukkan Kekuasaan

Contoh:

فَمِنْهُم مَّن يَمْشِي عَلَى بَطْنِهِ، وَمِنْهُم مَّن يَمْشِي عَلَى رِجْلَيْنِ وَمِنْهُم مَّن يَمْشِي عَلَى أَرْبَعٍ [النور: ٤٥]

“Di antara mereka ada yang berjalan dengan perutnya, di antara mereka ada yang berjalan dengan dua kaki, dan di antara mereka ada yang berjalan dengan empat kaki.” (QS. An-Nur: 45).

Dalam ayat ini, makhluk yang berjalan dengan perutnya (seperti ular) disebutkan lebih dahulu karena lebih menunjukkan keunikan dan kekuasaan Allah dalam menciptakan makhluk dengan cara berjalan yang berbeda dari kebanyakan makhluk lainnya. Hal ini menegaskan kebesaran Allah dalam menciptakan makhluk hidup dengan beragam bentuk dan kemampuan.

  • Keduapuluh Sembilan: At-taqdim untuk Menunjukkan Urutan

Contoh:

يَتَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ [المائدة : ٦]

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu, tanganmu hingga siku, dan usaplah kepalamu serta (basuhlah) kakimu hingga mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6).

Dalam ayat ini, perintah mengusap kepala ditempatkan di antara dua perintah membasuh (wajah dan kaki). Penyusunan ini, meskipun memisahkan hal yang serupa (membasuh), tetap mempertahankan urutan sesuai adat bahasa Arab, menunjukkan maksud adanya ketertiban dalam pelaksanaan wudhu.[32]

  • Ketigapuluh: At-taqdim karena Kemudahan Pengucapan

Contoh:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ﴾ [الأنعام: ١١٢]

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi musuh dari setan-setan (baik dari) manusia maupun jin.” (QS. Al-An’am: 112).

Dalam ayat ini, “manusia” disebutkan lebih dahulu daripada “jin” karena kata “manusia” lebih ringan diucapkan, mengingat kehadiran huruf nun dan sin yang lembut dan mudah dilafalkan, dibandingkan kata “jin” yang memiliki konsonan yang lebih berat. At-taqdim ini mencerminkan keindahan fonetik dalam susunan Al-Qur’an.[33]


[1] Ibnu Mandzur Al-Anshari, Lisanul ’Arobi (Bairut: Daru Ihyait Turats Al-’robi, 1999).

[2] Azarkasi, Al-Burhan Fi ’Ulumil Qur’an, 2:233.

[3] Al-Jurjani, Dalailul I’jaz, 106.

[4] Muhammad bin Jarir At-Thobari, Jami’ul Bayan Fi Ta`wilil Qur’an, vol. 9 (Bairut: Muassasah Risalah, 1420), 359.

[5] Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Itqhon Fi Ulumil Qur’an (Kairo: Hai’ah ’Ammah, 1394), 38.

[6] Abdul Qudus Anhasi, At-Taisir Fi Mafatihit Tafsir (Bairut: Daru Ibnu Hazm, 2012), 121.

[7] Azarkasi, 2:233.

[8] Azarkasi, 2:134.

[9] Anhasi, At-Taisir Fi Mafatihit Tafsir, 123.

[10] Munir Mahmud Al-Musiri, Dilalatut Taqdim Wt Takhir Fil Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, 1426), 133–48.

[11] Afifuddin Dimyati, Mabahits Fi Ma’anil Qur’an, vol. 1 (Kairo: Darul Nabras, 2022), 279.

[12] Dimyati, 1:279.

[13] Dimyati, 1:280.

[14] Dimyati, 1:280.

[15] Dimyati, 1:280.

[16] Dimyati, 1:280.

[17] Dimyati, 1:280.

[18] Dimyati, 1:281.

[19] Dimyati, 1:281.

[20] Dimyati, 1:281.

[21] Dimyati, 1:281.

[22] Dimyati, 1:281–82.

[23] Dimyati, 1:282.

[24] Dimyati, 1:282.

[25] Dimyati, 1:282.

[26] Dimyati, 1:283.

[27] Dimyati, 1:283.

[28] Dimyati, 1:2283.

[29] Dimyati, 1:284.

[30] Dimyati, 1:284.

[31] Dimyati, 1:285.

[32] Dimyati, 1:285.

[33] Al-Musiri, Dilalatut Taqdim Wt Takhir Fil Qur’an, 148.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *